Selasa, 05 Januari 2010

RACHMITA, SEORANG TUNARUNGU YANG MERAIH GELAR INSINYUR

Industri/Profesi
Yayasan Tuna Rungu Sejahtera Jiwa Raga (SEHIJRA)/Ketua Yayasan
Subyek Penghargaan

Solusi terhadap kemandirian tuna rungu dengan memberikan pelatihan keterampilan.

Rachmita Maun Harahap (Mita) adalah anak ke empat dari enam bersaudara dari pasangan Masniari Siregar (61) dan Ali Panangaran Harahap (71). Empat anak pasangan mereka (termasuk Mita) menyandang tuna rungu, cacat sejak lahir. Dua anak lainnya normal. Mita lahir di Padang Sidempuan, Sumbar.

Meski tunarungu sejak lahir, tidak menghalangi Mita untuk berprestasi di sekolah normal. Mita berhasil lulus di SDN Kertajaya 10 dan SMPN 6 surabaya -- saat itu merupakan sekolah favorit -- dengan nilai memuaskan. Begitu juga dapat melewati SMU 1 Serang dengan nilai gemilang. Bahkan semasa SMU, mita ikut berbagai kegiatan ekstrakulikuler seperti tennis dan marching band. Ketika itu Mita terpilih bsebagai mayoret terbaik di Kota Serang. Lulus SMU, mita ikut ujian UMPTN targetnya UI atau ITB. Namun, karena usahanya gagal, akhirnya ia memutuskan untuk kuliah di di Univ. Mercubuana mengambil jurusan teknik arsitektur. Mita berhasil lulus dari Univ. Mercubuana dalam waktu 4,5 tahun dengan predikat cum laude. Dengan meraih prestasi tersebut membawa Mita mendapatkan beasiswa dari Bapak Probosutedjo (Ketua Yayasan Menara Bhakti) untuk melanjutkan studi program Magister Seni Rupa dan Desain, ITB.

Setelah meraih S2,Mita kembali ke Univ. Mercubuana. Pada tahun 2000 statusnya sebagai karyawan kontrak di Bag. Perancang Pengawasan dan Penataan Fasilitas Gedung dan Ruangan Kampus sambil menjadi dosen Tidak Tetap Jur. Teknik Arsitektur. Sejak Oktober 2005 statusnya menjadi karyawan tetap Bag. Workshop Desain Interior Fak. Teknik Sipil dan Perencanaan. Perjuangan menjadi karyawan tetap diraihnya dengan usaha keras karena saat itu pengangkatannya terhalang kondisi penyandang cacat.

Tidak semua penyandang cacat dapat seberuntung Mita. Masih ada puluhan juta penyandang cacat yang hidup dalam keterpurukan, kesulitan memperoleh lapangan pekerjaan dan mereka juga terdiskriminasi dalam berbagai kehidupan yang lain. Didorong pengalamannya yang susah menjadi karyawan tetap, Mita terjun dalam berbagai kegiatan sosial khususnya bagi penyandang cacat (penca). Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 1991. Belakangan, 5 Desember 2001 Mita mendirikan dan kemudian menjadi ketua Yayasan Sehat Jiwa dan Raga atau disingkat SEHJIRA.

Modal awal saat itu atas pemberian dari orang tua Mita sebesar Rp 5 juta dan digunakan untuk membeli komputer dan pembuatan akte notaris. Tempat kegiatan masih di tempat tinggal orang tua. Setelah Mita bekerja di Universitas Mercubuana, penghasilannya digunakan untuk membiayai kegiatan yayasan. Selain itu, dia juga pernah menjadi peserta Superdeal (ANTV) dan mendapat hadiah Rp 8 juta dan uang tersebut digunakan untuk mengontrak rumah untuk kegiatan yayasan. Yayasan ini juga didukung oleh PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia), sekolah SLB di Jakarta yang memberikan pelatihan kemandirian penca, Al-azhar peduli umat dalam bantuan fasilitas komputer.

Kegiatan utama SEHJIRA adalah:

  1.   Menggalang pengadaan dana
  2.   Menyediakan informasi tentang pendidikan dan lapangan kerja
  3.   Memberikan beasiswa kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu
  4.   Pelatihan kemandirian remaja tuna rungu untuk dapat mengaktualisasikan diri dengan cara yang positif
  5.   Penyaluran tenaga kerja tuna rungu yang belum bekerja
  6.   Melatih keterampilan menjahit dan membuat kue bagi remaja tuna rungu
  7.   Menerima pekerjaan menjahit dari perusahaan konveksi yang dikerjakan oleh anggota tuna rungu
  8.   Pengenalan bahasa isyarat (American Sign Language), mengaji dan kursus komputer

Pada awalnya (2001) baru 20 orang penca, sampai saat ini sudah ada 223 penca yang seluruhnya berasal dari wilayah Jabodetabek yang sudah ikut dalam program SEHJIRA. Hasil yang mereka raih, diantaranya 10 orang dari mereka sudah bisa menjahit. Dari keterampilan menjahit, mereka sudah membuka usaha sendiri di rumah dan juga sudah bekerja di perusahaan garmen. Salah satu dari mereka meraih prestasi menjadi juara pertama lomba membuat jas tingkat nasional. Selain keahlian menjahit, 8 penca lainnya sudha bekerja di bagian marketing, auditing, keuangan, administrasi dan juga sebagai supir. Keahlian lain sekitar 13 orang sudah bisa komputer, 7 orang sudah bisa bahasa isyarat dan 13 orang sudah diterima di sekolah SMP umum.

Harapan Mita ingin mendirikan sekolah dari mulai tingkat TK sampai universitas untuk tunarungu. Keinginan ini tiada lain karena ingin mewujudkan kesamaan dan kesempatan bagi penca agar dapat mengisi segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Untuk Menghubungi

Taman Pendidikan No. 1 Cilandak Barat,
Jaksel
021.7305364

Masniari Siregar, Ibunda Empat Anak Tuna Rungu
Mengubah Keterbatasan Keempat Anaknya Menjadi Kesuksesan Melalui Kasih Sayang dan Doa
Memiliki anak tuna rungu bagi sebagian orang merupakan kekurangan yang harus ditutupi. Tapi berbeda halnya dengan Masniari. Ia justru lebih terdorong untuk mendidik dan memotivasi empat anaknya yang menderita tuna rungu untuk menggapai kesuksesan. Tekad itu pun berhasil berkat kerja keras yang dilakukannya bersama sang suami, Irwan Ibrahim. Bahkan salah satu diantaranya mampu meraih gelar S2 dengan keterbatasan yang dimilikinya. Bagaimana kisah sebenarnya?

Kamis (08/04) Sore, Realita menyambangi kediaman Masniari Siregar, seorang ibu yang memiliki empat orang anak menderita tuna rungu. Rumah Masniari Siregar terletak di perumahan Departeman Keuangan Karang Tengah, Tangerang, Banten. Rumahnya tak begitu besar, tapi nampak asri dengan beberapa pohon yang tertanam persis di depan bangunan rumah tersebut.

Sambutan hangat dari Masniari menyapa kedatangan Realita. Dengan penuh keramahan dan senyum khas, Masniari Siregar langsung mengajak Realita masuk ke dalam ruang tamu untuk berbagi cerita mengenai perjuangannya mengasuh dan mendidik anak-anaknya hingga meraih kesuksesan. Sambil duduk di atas sofa berwarna cokelat, Masniari pun mulai membuka obrolan dengan suasana yang cukup santai.

Wanita yang kerap disapa Masriani ini mengaku, bahwa memiliki anak adalah suatu anugerah tersendiri. Menurutnya, masih banyak perempuan yang sudah menikah bertahun-tahun namun tidak diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk memiliki anak. “Saya bersyukur bisa mempunyai anak,” ujarnya. Sejak menikah pada tahun 1942 dengan belahan jiwanya, Ali Panangaran Harahap (72) ia telah dikarunia 6 orang anak, yakni Barli Hakim harahap (43), Raja Muddin (42) Erwin Syarifuddin (40), Rachmita Maun (39), Linda Noura (37) dan Ade Nur Ima (35). Namun dari keenam anaknya hanya Raja Muddin dan Linda Noura yang normal. “Anak lainnya tuna rungu,” ungkapnya. Saat menikah, Masniari mengaku masih sangat muda yaitu berumur berumur 18 tahun sedangkan harahap berumur 28 tahun. Meski terpaut umur 10 tahun, hal tersebut tak membuat Masniari malu, “Cintalah yang menyakinkan saya untuk menikahinya,” cerita Masniari.

Mensyukuri Kekurangan Empat Anaknya. Meski mempunyai anak tuna rungu, Masniari tidak pernah menyesal telah melahirkan anak-anak tersebut. Baginya, anak adalah amanah yang harus dijaga meski memiliki kekurangan. Masniari juga tidak malu dan sakit hati ketika beberapa tetangga yang terkadang mencibirnya karena ia memiliki anak tunga rungu. “Kalau saya malu lalu bagimana dengan anak-anak saya, pasti mereka lebih tidak mempunyai kepercayaan diri lagi,” jelasnya. Masniari pun selalu membesarkan rasa kepercayaan diri anak-anaknya. Varanya adalah dengan mengatakan bahwa mereka anak yang normal seperti anak yang lain hanya saja kurang pendengaran dan susah untuk berbicara. “Saya selalu mengatakan demikian ketika anak-anak menanyakan kondisinya,” ujar Masniari. Sebagai seorang ibu yang memiliki empat orang tuna rungu tentunya membuat Masniari harus mendidik dengan ekstra keras. Pasalnya, kalau mereka dibiarkan, perkembangan anaknya tentu akan lambat. “Saya berbagi peran dengan suami, saya menjaga anak dan suami mencari uang,” terangnya. Suaminya sendiri bekerja di Departemen Keuangan.

Hampir setiap hari, Masniari selalu mendampingi keempat anaknya baik di sekolah maupun di rumah “Habis anak pulang sekolah, saya hampir tidak pernah keluar rumah untuk main ke tetangga. Waktu saya lebih banyak dihabiskan untuk menjaga anak-anak,” terangnya lagi. Kalau pun Masniari mau keluar biasanya ia pergi bersama suami dan anak-anaknya. Rutinitas kegiatannya tersebut diakui Masniari merupakan ungkapan kasih sayang dari dirinya dan suami. Melalui kasih sayang itulah, ia berharap perkembangan semua anak-anaknya mampu menampakkan keberhasilan di kemudian hari.

Masniari mengaku dalam mendidik anak-anaknya tidak pernah membeda-bedakan antara tuna rungu dan yang normal. “Bagi saya, semua anak sama saja. Jadi saya tidak pernah membeda-bedakan apalagi menganak-emaskan salah satu anak,” paparnya dengan logat batak yang sangat kental. Salah satu didikan yang ia terapkan kepada anak-anak adalah selalu displin dan bertanggung jawab terhadap berbagai macam tindakan yang dilakukan. Sejak kecil semua anak-anak sudah dibiasakan untuk bangun pagi dan sholat shubuh bersama. Setelah itu, mereka diharuskan untuk membersihkan dan merapikan tempat tidurnya masing-masing. “Yang paling bersih merapikan tempat tidur adalah Barli Hakim Harahap anak pertama,” kenangnya.
Budaya disiplin sengaja diterapkan oleh Masniari sejak dini, sebab menurutnya dengan menciptakan budaya disiplin sejak kecil maka akan membentuk karakter anak untuk bertanggung jawab dan mandiri ketika nanti dewasa.”Tidak selamanya saya hidup dengan anak-anak karena suatu saat anak-anak pasti akan hidup sendiri-sendiri dan berpisah dengan saya,” jelas Masniari. Selain itu, Masniari juga berharap kelak anak-anaknya tidak bergantung dengan orang lain karena memiliki kelemahan dalam pendengaran dan pengucapan.

Doa dan Kasih Sayang. Meski setiap hari Masniari selalu mendampingi anak-anaknya bukan berarti semua aktifitas dan kreatifitas anak-anaknya dibatasi. ”Saya tidak mengekang keinginan anak-anak, semua anak-anak saya bebaskan untuk menentukan jalannya masing-masing, karena mereka yang akan menjalani hidup”jelasnya. Seperti saat Rachmita Maun atau yang biasa disapa Mita ingin mengenyam pendidikan dasar di sekolah umum. Sebelumnya, Mita memang mengenyam pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun, ia kemudian memiliki keinginan untuk merasakan pendidikan di sekolah umum. Karena terus menerus merengek untuk bersekolah di sekolah umum, akhirnya keinginan Mita dikabulkan oleh Masniari. ”Kebetulan saya punya kenalan kepala sekolah jadi saya bisa memasukkan Mita di sekolah normal,” ujar nenek enam cucu ini. Mita sendiri mengaku ingin pindah karena merasa mampu untuk mengikuti pelajaran di sekolah umum. Setelah Mita masuk di sekolah umum, sang adik, Linda yang juga tuna runggu masuk di sekolah normal karena memiliki keinginan yang sama dengan Mita. Sedangkan dua kakaknya justru tidak mau masuk di sekolah normal. Meski tuna runggu, baik Mita maupun Linda bisa mengikuti pelajaran. Bahkan Mita selalu masuk dalam ranking sepuluh besar di kelasnya.

Selain mengajarkan budaya demokratis di tengah-tengah keluarga. Masniari juga sangat menekankan pendidikan kepada anak-anakanya, hampir semua anak-anaknya mengenyam bangku kuliah, kecuali Barli Hakim Harahap dan Erwin Syarifudin. Pasalnya, kedua kakak beradik tersebut tidak bersekolah di sekolah normal. Prestasi yang paling mengejutkan adalah Mita, anak keempatnya yang mampu melanjutkan pendidikannya hingga S2 di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan mengambil Jurusan Interior.

Hampir semua anak-anak Masniari mengalami kesuksesan, dalam menjalani hidup, baik yang tuna rungu maupun yang normal. Salah satu contohnya adalah Barli yang bekerja sebagai pengusaha kebun karet. Rajamudin, sebagai supervisor di sebuah perusahaan bernama PT. Eka Timur Raya di kota Malang, Jawa Timur. Erwin berprogesi sebagai staff marketing di salah satu perusahaan pelayaran. Sedangkan Mita, menekuni karir sebagai dosen sekaligus disain Interior serta Linda bekerja di perusahaan asuransi PT. Bina Griya Upakara. Yang terakhir, Ade bekerja sebagai wiraswasta dan memiliki usaha sendiri yang cukup menguntungkan. Kesuksesan yang diraih anak-anaknya tersebut tak lain dan tak bukan selain usaha anak-anaknya yang gigih untuk belajar, juga disertai doa yang tak pernah berhenti dipanjatkan dari ibunya. Tak hanya itu saja, didikan sang ibu yang mengajarkan kemandirian bagi anak-anaknya, meski sebagian diantaranya adalah tuna rungu. “Hampir setiap siang dan malam saya selalu mendoakan untuk kesuksesan anak-anak saya,” ungkapnya sembari menutup pembicaraan

Ingin Mendirikan Universitas Khusus Tuna Rungu
Rachmita Maun Harahap atau yang kerap disapa Mita ini terlahir mengalami kekurangan dalam pendengaran dan kesulitan untuk bicara. Meski demkian, Mita tidak pernah menyesali nasibnya tersebut. Ia justru bersyukur kepada Allah karena telah diberi kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang normal lainnya. Bagi Mita, kedua orang tuanya sangat berarti dalam perjalanan hidupnya. Disaat masih kecil teman sekolah sempat mencelanya. Namun, kedua orang tuanya selalu menenangkan hati Mita. Ia pun disarankan untuk selau berbesar hati. Selain itu, kedua orang tuanya juga sangat menyayangi semua anak-anak, tak terkecuali bagi anak-anak tuna rungu. Mita juga sangat bersyukur memiliki orang tua yang sangat peduli sekali dengan pendidikan anak-anaknya ”Kalau orang tua saya tidak peduli dengan pendidikan kami, mungkin saya tidak seperti sekarang,” jelas suami Irwan Ibrahim ini.

Sebagai tuna runggu, tentunya Mita sangat memahami betul kesulitan-kesulitan orang yang senasib denganya. Apalagi di keluarganya sendiri ada tiga orang yang tuna rungu. Terdorong ingin membantu teman-teman sensibnya itu pada tanggal 5 desember 2001 lalu, ia mendirikan Yayasan SEHJIRA (Sehat Jiwa Raga). Yayasan ini bergerak dalam pelatihan dan pendidikan khusus untuk tuna rungu. Selain mendirikan Yayasan SEHJIRA, Mita juga memiliki obsesi lain yang sangat besar yaitu mendirikan universitas khusus tuna rungu. Sebab di Indonesia, belum ada universitas khusus untuk tuna rungu. Dalam waktu dekat ini, rencanaya ia juga akan mengambil gelar doktor di Luar negeri. “Saya ingin mengambil gelar doktor,” ungkap Mita tanpa menjelaskan lebih lanjut.


Tentang penerima penghargaan

"Pelita Dalam rangka memperingati Hari Internasional Penyandang Cacat (Hipenca) di DKI Jakarta, Pemda DKI Jakarta melalui Dinas Sosial memberikan penghargaan kepada para penyandang cacat berprestasi.Pemberian Penghargaan disampaikan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta Prijanto diTMIl. Pemberian penghargaan tersebut diberikan kepada penyandang cacat berprestasi, dan non penyandang cacat secara perorangan, kelemba- gaan yang telah mengabdikan hidupnya bagi kepentingan kesejahteraan bagi penyandang cacat. Selain itu, bakti sosial pengobatan gratis, pemberian alat bantu penunjang fisik dan santunan uang serta bingkisan natural.Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Budihardjo mengatakan penyandang cacat berprestasi mendapat sertifikat penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta, terbaik perorangan yakni Ir Rachmita Maun Harahap, ia adalah cacat Tuna Rungu berprestasi dibidang akademisi, pembicara dalam seminar-seminar dan seorang motivator. "

3 komentar:

chacha mengatakan...

sy pnya anak tuna rungu tpi kepercayaan diri nya hilang
usia nya 16 tahun
bagaimana sy harus menghubungi anda ????

addie mengatakan...

mungkin anak anda merasa tertekan. hubungi saya dengan nomer hp:08994635568 atau 08995416409

Maliki Arifin mengatakan...

RACHMITA, SEORANG TUNARUNGU YANG MERAIH GELAR INSINYUR

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons